Selasa, 16 Maret 2010

CINTA YANG MENDALAM MENUJU KEMATIAN

Orang yang malu karena Allah adalah orang yang takut akan siksaannya. Begitulah perasaan yang dimiliki oleh seorang pemuda yang taat akan perintah dan larangan-Nya. Diceritakan bahwa di suatu tempat, di mana tempat tersebut memiliki kharismatik yang bernuansa Islami, tepatnya di kota Tasik. Alkisah, cerita ini merupakan kisah yang pernah dialami oleh seorang pemuda, sebut saja namanya Ilyas. Ilyas merupakan anak pendiam, pemalu dan sopan terhadap orang tua, guru dan teman-temannya.

Ketika Ilyas menginjak masa-masa remaja, dikatakan bahwa dia tertarik pada salah seorang perempun yang bernama Dea Anggraini, sewaktu rombongan jiarah ke tempat para wali, Banten. Pada awal berangkat, tidak ada sekecil apaun niat pada dirinya untuk mencari pasangan hidup. Tapi entah kenapa pada saat itu dirinya begitu terpesona akan keindahan dan pancaran raut wajah si gadis jelita. Wajah yang terlihat lelah dan gerah membuat raut wajah gadis itu kemerahan-merahan. Sehingga pada saat itulah Ilyas mendapatkan magnet cinta yang sedang dirasa. Ilyas melirik kesana kemari sambil mengikuti jejak langkah sang bidadari. Tapi apa dayalah yang membuat hatinya merasa dosa ketika teringat akan niat pergi kesana (jiarah). Sehingga detik itupun juga Ilyas berhenti untuk menghilangkan arung niatnya. Dan diapun berpikir sejenak “Jodoh, hidup dan mati sudah ditentukan oleh Allah SWT” . Jadi, menurutnya dia tidak terlalu cemas akan hal yang terlintas di benaknya.

Waktu jiarahpun berlalu, godaan dan angan-angan datang menghampiri lagi. Mungkin karena factor teman yang membuat dirinya mengarungi kembali niat untuk bisa kenal dengannya (Dea). Para ahli juga berkata bahwa, kepribadian seseorang akan berubah, salah satunya karena factor lingkungan. Jadi, tak beda jauh sama apa yang sedang Ilyas alami sekarang. Niatnya semakin menggebu-gebu, tingkah lakunya mulai aneh. Dari yang tadinya pemalu, sekarang jadi blak-blakan tak karuan.

Rasa cintalah yang membuat dirinya berubah. Hingga akhirnya Ilyas nekad bertanya ke teman kelasnya, yang mana saat itu dia teringat sama teman, bernama Siti. Dan kebetulan teman kelasnya itu merupakan teman sepengajian. Dan saat itulah Ilyas curhat panjang lebar sambil menceritakan niat bahwa dia suka sama Dea. Ilyaspun pertama kali menitipkan salam kenal ke Siti untuk Dea.
Satu hari berlalu, Ilyaspun bangun pagi dengan semangat dan mandi untuk bergegas pergi ke sekolah. Bel sekolah berbunyi, diapun bergegas menemui Siti dengan niat bertanya tentang kabar darinya. Kabar baguslah yang begitu kesima dibuatnya. Kehampaan hati yang selalu sendiri, seakan-akan terhimpit oleh berita yang dibawa. Rasa bahagia terus mewarnai hati. Mimpi yang telah lama didambakan, akhirnya kesampaian.

Rasa penasaran dari hari ke hari begitu menggelora, mereka satu sama lain mengirimkan surat. Dalam suratnya, Ilyas menulis, “ Aku telah lama memperhatikanmu sejak dulu, tepatnya ketika aku jiarah bersama, dan akupun terpesona akan kecantikanmu. Hingga detik inilah aku selalu memikirkan dan ingin bertemu”. Membaca isi suratnya, Dea membalas, “Sebenarnya aku juga sudah tahu maksud kamu ketika mendengarkan cerita dari teh Siti. Jadi, aku juga selalu menanyakan hal sama apa yang selalu kamu tanyakan sama dia.”
Membaca surat yang mereka dapati, akhirnya ada suatu kecocokan hati yang mereka rasakan. Tepatnya di minggu siang, mereka saling bertemu pergi ke kota dengan dekupan hati, bergetar jiwa pergi bersama. Satu sama lainya tersipu malu, Ilyaspun mulai bertanya dengan membuka pertanyaan. Nuansa saat itu begitu terasa akrab karena alunan perkataan yang dilontarkan. Dan selanjutnya merekapun menjalin suatu hubungan ke jenjang yang begitu mendalam.

Namun, ketika empat bulan sedang asyik menjalin hubungan, tiba-tiba hubungan mereka harus berhenti gara-gara kepergok berdua oleh orang tua Dea. Orang tuanyapun pergi membawa dia ke rumah sambil memarahinya. Sejak saat itulah mereka pisah dan menurut cerita, Dea pergi mondok ke luar kota. Kontak-kontakanpun mereka lakukan, hingga sampailah waktunya mereka saling bertemu. Akan tetapi, pada saat itu bukan rasa bahagia yang Ilyas dapatkan, tapi rasa kecewa yang didengar, bahwa Dea akan dijodohkan dengan seorang ustadz di kampungnya. Suarapun begitu hening, tangisan keluar dengan dibarengi tetesan air mata. Kemudian mereka berdua saling memaafkan dan mendo’akan.

Selanjutnya Ilyas pulang dengan perasaan sedih dan hampa tak karuan. Tiap hari bayangan dia selalu ada untuknya, makan minum tak terasa, hidup seakan-akan tidak berguna, sampai-sampai dia sakit begitu lama. Orang tuanyapun memperhatikan dan mulai bertanya, “Ada apa dengan diri kamu ini, apa yang terjadi?”. Dan akhirnya orang tua Ilyaspun mengetahui permasalahannya.

Hingga suatu saat, Ilyas membebaskan dirinya dari dunia, beban dan pikiran yang dipikul dia lepaskan, dan iapun mulai rajin beribadah seperti biasa. Sekarang dia hanya bisa bersabar, pasrah kepada Sang Pencipta. Selain dari pada itu, di dalam menjalani segala aktifitasnya dia harus dibantu oleh kedua orang tua. Sebab dari hari ke hari tubuhnya semakin kurus, lantaran cinta dan rindu kepada sang pujaan. Selanjutnya Ilyaspun jatuh sakit dan menderita lahir bathin selama beberapa bulan.
Ketika dia sudah tahu kalau ajal akan segera tiba, iapun meminta permohonan terakhir kepada orang tuanya untuk bisa bertemu dengan gadis pujaan. Karena kasihan melihat anaknya menderita, orang tuanyapun menelepon Dea agar bisa datang untuk menjenguknya. Atas dasar berita tadi, gadis itu meminta ijin kepada orang tuanya, namun apa yang terjadi??? Orang tuanya tidak mengijinkan untuk pergi, sebab malam sudah larut dan jam dindingpun menunjukkan jam 22:00 WIB.

Perasaan yang sudah hancur atas tidak direstui oleh orang tuanya, gadis itupun masuk ke kamar dan mengurung diri sendiri di dalam, sambil berdo’a kepada Tuhan agar dia bisa menjenguk lelaki pujaannya. Atas do’a yang telah ia panjatkan, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu dari luar, dan orang tuanya berkata, “Silahkan pergi, asalkan kita sekeluarga ikut menjenguk bersama”. Mendengar hal itu, ia bahagia dengan cepatnya keluar bergegas untuk pergi ke rumah sakit. Namun takdir berkata lain, hidup mati seseorang tidak bisa ditunda-tunda dan sudah ditentukan oleh Sang Maha Kuasa. Begitu pula dengan kematian Ilyas, padahal saat itu gadis yang telah lama ditunggu akan segera tiba, tetapi dia sudah keburu meninggal dunia.

Suara takbir serta tangisanpun mengiringi kematian, sampai-sampai suara itu terdengar ke luar. Dea dan sekeluarga tergesa-gesa memasuki ruangan. Dengan tidak percaya karena melihat bahwa lelaki pujaannya telah tiada, Dea menangis dan terkulai jatuh ke lantai. Selain perasaan bersalah karena cinta padanya, dia juga merasa berdosa. Sebab malam itu dia tidak bisa memenuhi keinginan di akhir hidupnya untuk berjumpa. Atas kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat, khususnya dari pihak keluarga Dea, merekapun tak lupa meminta maaf serta memanjatkan do’a untuknya. Dengan berlapang dada, keluarga Ilyaspun memaafkan dan saling memaafkan satu sama lainnya. Dan akhirnya, Ilyaspun pergi dengan tenang meninggalkan keluarga dan dunia untuk selamanya.

Senin, 01 Maret 2010

Penelitian Sejarah Tempe Bapak Didi DI Majalengka

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Tempe berasal dari Indonesia, tidak seperti makanan kedelai tradisional lain yang biasanya berasal dari Cina atau Jepang. Namun, tidak jelas kapan pembuatan tempe dimulai. Akan tetapi, makanan tradisonal ini sudah dikenal sejak berabad-abad lalu, terutama dalam tatanan budaya makan masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta dan Surakarta.
Mary Astuti, seorang pakar tempe dari Universitas Gajah Mada menuliskan asal-usul kedelai dan tempe berdasarkan hasil penelusuran dokumen yang ada . Menurutnya, kedelai berasal dari bahasa Tamil (India Selatan) yang berarti kacang kedelai (mung bean, soybean).
Sumber lain mengatakan bahwa pembuatan tempe diawali semasa era Tanam Paksa di Jawa. Pada saat itu, masyarakat Jawa terpaksa menggunakan hasil pekarangan, seperti singkong, ubi dan kedelai, sebagai sumber pangan.
Selain itu, ada pula pendapat yang mengatakan bahwa tempe mungkin diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa yang memproduksi makanan sejenis, yaitu koji . Selanjutnya, teknik pembuatan tempe menyebar ke seluruh Indonesia, sejalan dengan penyebaran masyarakat Jawa yang bermigrasi ke seluruh penjuru Tanah Air.
Namun, kata "tempe" diduga berasal dari bahasa Jawa Kuno. Pada zaman Jawa Kuno terdapat makanan berwarna putih terbuat dari tepung sagu yang disebut tumpi. Sehingga, tempe segar yang juga berwarna putih terlihat memiliki kesamaan dengan makanan tumpi tersebut. Penemuan-penemuan itu sudah merupakan bukti yang cukup untuk memastikan bahwa tempe berasal dari Jawa. Tempe merupakan ciptaan dan menjadi budaya orang Jawa.
Sesudah mengetahui bagaimana asal-usul pembuatan tempe yang ada di Indonesia. Selanjutnya penulis akan sedikit memaparkan pengetahuan yang didapat mengenai Industri Tempe bapak Didi Mashudi Tahun 1981-2009 di Des. Kasturi, Kec. Cikijing, Kab. Majalengka.
B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana latar belakang industri tempe bapak Didi Mashudi ?
2. Bagaimana riwayat hidup bapak Didi Mashudi ?
3. Bagaimana cara pengolahan tempe tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menajadi pokok tujuan penulisan dalam meneliti permasalahan ini adalah untuk:
1. Mengetahui latar belakang industri tempe bapak Didi Mashudi.
2. Mengetahui riwayat hidup bapak Didi Mashudi.
3. Mengetahui cara pengolahan tempe tersebut.



D. Langkah-langkah Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah metode penelitian sejarah, yang di dalamnya meliputi empat tahapan, yaitu: heuristic, kritik, interpretasi, dan historiografi. Selain dari pada itu, penulis menggunakan metode penelitian sejarah lisan, di antaranya dengan menggunakan wawancara.
1. Heuristik
Pada tahapan ini, peneliti berusaha mencari dan menghimpun dari sumber-sumber yang dianggap relevan dengan permasalahan, baik itu sumber tulisan maupun sumber lisan. Sehingga dari penelitian tersebut, diteliti kembali apakah sumber itu primer atau sumber sekunder.
2. Kritik
Maksud dari tahapan kritik ini untuk menelusuri keakuratan informasi yang dipeloreh dengan jalan melakukan kritik secara intern dan kritik ekstern. Kritik intern berusaha untuk meneliti kredibilitasnya, sedangkan kritik ekstern berusaha untuk melihat keotentitasannya.
3. Interpretasi
Tahapan ini adalah upaya menetapkan makna saling berhubungan, logis, serta kredibel setelah fakta-fakta sejarah terkumpul. Dan tahapan ini juga merupakan keseluruhan proses yang harmonis dan masuk akal.
4. Historiografi
Tahapan historiografi adalah tahapan kegiatan penulisan atau tahapan dalam menyampaikan hasil-hasil rekontruksi imaginative dari masa lampau sesuai dengan jejaknya. Sehingga dari kata-kata itu menjadi akhir suatu karya atau cerita sejarah yang benar-benar kredibel dan menarik.

BAB II
ETNOGRAFI

A. Kondisi Geografi
Letak geografis Kabupaten Majalengka yang berada di kawasan Timur Provinsi Jawa Barat, sebelah Barat 108003'-108019' Bujur Timur, sebelah Timur 108012'-108025' Bujur Timur dan sebelah utara 6036'-6058' Lintang Selatan, sebelah Selatan 6043'-7003' Lintang Selatan. Kondisi topografi ± 50% merupakan dataran tinggi/bergelombang/pegunungan dan sisanya dataran rendah tanpa memiliki laut, dengan luas wilayah 1.204,24 km2 (120.424 Ha) atau 3,65 % dari luas wilayah Provinsi Jawa Barat.
Kabupaten Majalengka secara administratif terdiri atas 23 Kecamatan dengan 318 Desa dan 13 Kelurahan. Sedangkan menurut, sosiologis dan akar budaya, Kabupaten Majalengka diapit oleh rumpun budaya Priangan, Priangan timur, dan Cirebon, dengan identitas utama budaya daratan/pedalaman tanpa bersinggungan langsung dengan pesisir.
Keadaan topografi wilayah Kabupaten Majalengka sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh perbedaan ketinggian suatu daerah dengan daerah lainnya. Misalnya, daerah perbukitan terjal meliputi daerah sekitar Gunung Ciremai, sebagian kecil Kecamatan Rajagaluh, Argapura, Talaga, sebagian Kecamatan Sindangwangi, Cingambul, Banjaran, dan Kecamatan Cikijing, serta daerah sekitar Gunung Cakrabuana yaitu Kecamatan Bantarujeg dan Lemahsugih. Kemiringan di daerah ini berkisar 25% - 40% dengan ketinggian antara 400 - 2000 m di atas permukaan laut.
Kabupaten Majalengka dikaruniai sumber daya alam yang cukup memadai khususnya dalam bidang pertanian, keunggulan tersebut dapat dikelola dengan optimal apabila pertanian yang berorientasi agribisnis dapat dilaksanakan secara terpadu pada lokasi atau wilayah yang sesuai di seluruh Kabupaten Majalengka.

B. Kondisi Demografi
Jumlah total penduduk Kabupaten Majalengka menurut data BPS Tahun 2005 adalah 1.191.490 jiwa. Penduduk laki-laki 596.024 dan 595.466 penduduk perempuan (BPS Jawa Barat, 2006).
Dari jumlah di atas, untuk kelompok usia di atas 10 tahun, terdapat 551.038 penduduk angkatan kerja (economically active) dengan pembagian 504.676 yang sudah bekerja dan 46.362 yang masih mencari kerja. Untuk kelompok bukan angkatan kerja (sekolah, mengurus rumah tangga, dan lainnya), mencapai angka 430.336. Mayoritas penduduk Majalengka bermata pencaharian di bidang pertanian dan industri. Presentasi penduduk berumur 10 tahun ke atas yang bekerja dibidang pertanian adalah 33,81%. Namun dari jumlah mayoritas tersebut, sebagian besarnya adalah buruh tani. Sedangkan di bidang industri presentasi penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja di bidang ini hanya sejumlah 22,02% (BPS Jawa Barat 2006).
a) Kesejahteraan
Masyarakat Majalengka umumnya adalah masyarakat agraris. Akan tetapi, industri di Majalengka termasuk industri yang cukup dapat diperhitungkan. Kabupaten Majalengka terkenal sebagai kabupaten penghasil genteng, terutama di Kecamatan Jatiwangi.
Dari sisi kesejahteraan, melihat data yang diperoleh oleh BPS (Badan Pusat Statistik), dari pengeluaran rata-rata per-kapita sebulan, kesejahteraan kabupaten Majalengka adalah yang ke-dua terendah setelah Tasikmalaya. Pengeluaran rata-rata perkapita sebulan kabupaten Majalengka adalah Rp. 172.196,00.
Di sisi lain, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), yang merupakan akumulasi dari Indeks Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi, Kabupaten Majalengka menunjukan bahwa angka IPM Kabupaten tersebut menempati urutan ke-empat terendah di Jawa Barat yaitu sebesar 66,9. Angka ini lebih besar dari Kabupaten Cianjur yang IPM-nya 66,8 (BPS Jawa Barat, 2006). Angka-angka tersebut didukung dengan realitas fisik yang tampak di Majalengka.
Meski Majalengka adalah wilayah perlintasan selatan menuju Jawa Tengah, akan tetapi hal tersebut sepertinya tidak menjadikan kota Majalengka berkembang pesat secara fisik seperti daerah-daerah lain. Gedung-gedung tinggi tidak ditemukan di sini termasuk juga mall-mall. Namun demikian, kota kecil Majalengka merupakan kota yang bersih. Tidak heran bila kabupaten ini pernah mendapat penghargaan Adipura untuk kebersihannya.
b) Pendidikan
Dalam hal pendidikan, Angka Partisipasi Sekolah (APS) Usia 13-15 dan 16-18 di Kabupaten Majalengka mencapai angka 81,10 dan 30,38 (BPS Jawa Barat, 2006). Sedangkan dari Pendidikan yang Ditamatkan, jumlah tamatan yang diperoleh hanya mencapai 13,30 untuk usia SLTP dan 7,67 untuk usia SLTA. Selisih APS usia 13-15 dan 16-18 dengan angka Pendidikan yang ditamatkan adalah 45,3 (BPS Jawa Barat, 2006). Sebagai perbandingan angka ini merupakan angka terendah ke-tiga setelah Cianjur dan Garut.
Rendahnya Angka Partisipasi Pendidikan tersebut diperkuat dengan rendah Angka Tamat Sekolah (ATS) Kabupaten Majalengka. Presentasi jumlah rata-rata ATS Kabupaten Majalengka adalah 28, 46% (BPS Jawa Barat, 2006). Namun, dengan rendahnya Angka Prestasi Sekolah, pemerintah setempat dan masyarakat tidak tinggal diam. Upaya-upaya dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut.

C. Mata Pencarian Masyarakat Cikijing
Perekonomian masyarakat Cikijing saat ini dalam bidang perdagangan dan hasil pertanian, namun sebagian besar di sektor perdagangan. Kecamatan Cikijing adalah salah satu wilayah dengan tingkat ekonomi yang cukup tinggi untuk wilayah kabupaten Majalengka, selain Kecamatan Talaga, Jatiwangi dan Kadipaten.
Perekonomian yang sudah ada dan menjadi andalan bagi masyarakatnya ialah pertanian dan perdagangan, pakaian (jeans) dan makanan yang diproduksi oleh usaha keluarga (home industry), sehingga memiliki prospek yang sangat bagus bagi pengembangan ekonomi masyarakat.
Selain dari pada itu, usaha yang sedang tumbuh saat ini adalah sektor perdaganan makanan dan minuman eceran serta counter-counter Hand Phone dan lain-lain. Mengingat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang, maka masyarakat Cikijing mengalami perubahan di dalam kehidupan masyarakat, khususnya perekonomian.









BAB III
BERDIRI DAN BERKEMBANGNYA INDUSTRI
TEMPE PAK DIDI

A. Perintis Industri Tempe
Dengan banyaknya industri yang berkembang di masyarakat, banyak di antara mereka ikut aktif di dalam memenuhi kebutuhannya. Misalnya saja dengan cara bertani atau berdagang. Sehingga muncullah suatu inisiatif masyarakat yang di dalamnya memiliki keterkaitan antara konsumen dan produsen- penjual dan pembeli. Maka dengan adanya hal tersebut, penulis akan ambil contoh bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya dengan cara mendirikan industri tempe.
Di Kasturi tepatnya di Kecamatan Cikijing, Kabupaten Majalengka terdapat industri tempe. Industri tempe tersebut merupakan hasil usaha keras yang didirikan oleh bapak H. Abdul Pena tahun 1981. Namun, yang akan saya paparkan adalah penerus yang masih hidup-saat ini menggelutinya, nama pemiliknya adalah pak Didi Mashudi. Beliau lahir pada tanggal 15-08-1964, merupakan anak ketiga dari lima bersaudara, hasil dari penikahan bapak H. Abdul Pena dan ibu Hj. Upi.
Sebagaimana yang telah diungkapkan di atas, orang yang pertama kali merintis tempe tersebut adalah orang tuanya, H. Abdul Pena. Namun, pada saat itu pembuatan tempenya hanya sekedar menutupi kebutuhan keluarganya saja dan hanya sedikit diproduksi.
Sewaktu kecil, hampir setiap pulang sekolah saya selalu membantu orang tua membuat tempe. Hal itu di karenakan saya sebagai anak laki-laki yang paling tua, sehingga saya mempunyai kesadaran untuk membantunya, tutur pak Didi.
Ketika sudah berumah tangga sekitar tahun 1984, dia mendapatkan sebidang tanah yang diberikan dari orang tuanya di blok Pinangsari, Desa Kasturi. Yang mana tempat tersebut merupakan area pesawahan dan sedikit pemukiman-pemukiman masyarakat. Dan atas dasar seperti itulah orang tuanya menyuruh untuk melanjutkan usaha tempe yang sudah lama digelutinya. Sehingga pada tahun 1985-an, industri tempe itu berdiri di rumahnya hinga saat ini.
B. Proses Pengolahan Tempe
Cara sederhana adalah cara pembuatan tempe yang biasa dilakukan oleh para pengrajin tempe di Indonesia. Mereka hanya menggunakan alat tradisional. Begitu juga sama apa yang dilakukan oleh pak Didi di dalam proses pengolahan tempenya. Berikut bahan, alat-alat serta cara pengolahannya:
Bahan :
• Kedelai
• Ragi
• Air Bersih
Alat :
• Wadah yang terbuat dari drum yang sudah dibersihkan
• Kayu, sebagai alat pengaduk.
• Plastik
• Koran dan Karung Goni
• Tungku yang terbuat dari tumpukan bata-semen.
Cara pengolahannya:
1) Harus diadakannya sortasi terhadap kedelai, agar tahu kualitas kedelainya.
2) Kedelai yang sudah disortasi direndam hingga satu malam
3) Kedelai yang sudah direndam dibersihkan dengan cara diinjak-injak sampai kulitnya terkelupas dan dibersihkan dengan air mengalir.
4) Sudah bersih, kedelai tersebut ditiriskan.
5) Direbus dengan air mendidih sekitar 3-4 jam, serta diadakannya pengadukan saat perebusan.
6) Diangkat dan ditiriskan selama 40 menit.
7) Setelah dingin, kedelai-kedelai itu ditaburi ragi atau laru hingga merata
8) Dimasukkan ke kantong plastic dengan memiliki lubang-lubang kecil, agar angin bisa masuk ke dalamnya.
9) Adanya pemeraman selama dua malam
10) Ditutup menggunakan koran atau karung goni

C. Perkembangan dan Pemasaran Tempe
Sebagaimana masyarakat umumnya, setiap manusia selalu mengalami kemudahan dan kesulitan, itu merupakan hukum alam yang tak bisa dihindarkan. Terkadang manusia tak menerima ketika mengalami berbagai cobaan. Sehingga mereka terjebak dalam jurang keterpurukan. Padahal itu sangat wajar jikalau seseorang ingin meraih cita-cita ataupun kebahagiaan.
Selain dari pada itu, banyak di sekitar kita orang-orang yang berhasil atas kegigihannya. Sehingga mereka bisa hidup dan merasakan manisnya, hasil dari usaha keras yang telah dilakukannya.
Hal ini sama apa yang dirasakan pak Didi saat ini. Beliau merupakan contoh dari sekian banyak orang yang bisa dikatakan sukses. Semasa kecil, dia selalu ikut serta di dalam membantu pekerjaan orang tuaya. Padahal usia pada saat itu merupakan usia yang biasa selalu dipakai main oleh anak-anak pada umumnya. Namun, atas ketaatan yang dimilikinya, beliau ikhlas membantu pekerjaan orang tua. Sehingga ketika usaha ayahnya mengalami penurunan, beliaulah yang turun sebagai tulang punggung keluarga. Tepatnya pada tahun 1985, beliau mendirikan sebuah industry tempe yang dimilikinya.
Usaha yang sedang digelutinya itu mengalami berbagai hambatan. Tetapi segala cobaan yang datang tak pernah dipermasalahkan, beliau selalu berusaha, berdo’a, dan sabar.
Di dalam memasarkan hasil produksinya setiap jam 02:00 WIB. Beliau dibantu dengan anaknya pergi bergegas membawa tempe ke pasar Talaga, Bantarujeg dan sekitarnya. Selain dipasarkan ke pasar-pasar, banyak di antara masyarkat yang membeli hasil produksinya ke rumah, ujar pak Didi.
Atas segala keuletannya, sehingga sampailah waktunya dimana beliau merasakan bagaimana manisnya hasil usaha yang selama itu ditekuninya. Sehingga segala kebutuhan keluarga bisa cukup terpenuhi. Sampai-sampai pada saat itu beliau bisa membeli kendaraan roda empat /mobil, sebidang tanah.dll









BAB IV
KEMEROSOTAN INDUSTRI TEMPE

A. Penyebab Kemerosotan Industri Tempe
Kenaikan harga kedelai impor di pasar local menjadi pukulan telak bagi produsen tempe dan produsen lainnya, yang mana sangat bergantung kepada kedelai sebagai bahan baku utama. Besarnya biaya produksi dan menurunnya konsumsi tempe masyarakat menjadi tantangan tersendiri bagi mereka untuk mencari cara agar terus bertahan dan tak gulung tikar.
Kenaikan harga kedelai sejak tahun 1999, memaksa para pengrajin tahu-tempe melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan usahanya. Sehingga mereka terpaksa menurunkan produksi hingga 30% sampai-sampai pemilik pabrik menurunkan upah pegawai berdasarkan volume produksi.
Salah satunya adalah Didi (45), meskipun langkanya kedelai local namun pada saat itu mau tak mau harus membeli kedelai impor. Karena menurutnya dia harus tetap bisa bertahan, sekaligus menurunkan produksi tempe. Sehingga yang tadinya lebih memproduksi dari 40-50 kg, harus menguranginya. Tambahnya lagi pada tahun itu juga sedang mengalami krisis moneter. Sehingga menyulitkan bagi kelangsungan memproduksi dan kurangnya konsumen.

B. Kendala dan Masalah yang Dihadapi oleh Pak Didi
Krisis kedelai yang melanda pada tahun 1999, bisa memberikan dampak kepada kelangsungan memproduksi tempe dan kebutuhan hidup masyarakat. Sehingga ketergantungan pengrajin tempe pada kedelai impor memang menyulitkan keberlangsungan usaha mereka. Betapapun mahalnya harga kedelai impor di pasaran, mereka tetap membeli jika tidak ingin berhenti berproduksi.
Selain dari pada itu, usaha yang dialaminya dari hari ke hari terus menurun. Hal itu mungkin dikarenakan factor usia yang tak seperti dulu lagi. Artinya beliau sering mengalami sakit-sakitan. Tepatnya pada tahun 2003, usahanya itu tersendat-sendat. Misalnya banyaknya tempe yang tak habis terjual, susahnya cari pelanggan, dan kurangnya modal yang dimiliki. Mungkin atas factor itulah yang menjadi kendala terjadinya kelangsungan produksi tempe pak Didi.
Akan tetapi, ketika tahun 2007, beliau tak patah semangat untuk memproduksi tempe lagi. Walaupun tak semanis yang dulu pernah didapat, namun beliau tetap berusaha dan bisa memberikan nafkah kepada keluarganya, sehingga sampai saat ini usahanya tetap eksis dan dijalani dengan semangat.

C. Dampak terhadap Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat
Segala kenaikan yang terjadi, yang mana bahan baku langka itu akan berimbas kepada warga masyarakat. Sehingga mereka terus berombang-ambing dalam situasi krisis yang menempatkan mereka pada suatu ketakberdayaan menghadapi situasi pasar yang tidak stabil.
Misalnya saja banyak diantara masyarakat yang membutuhkannya, baik untuk dikonsumsi ataupun dijual kembali. Pada saat produsennya tersendat dan harga melonjak, jelas masyarakat lari mencari langkah yang lebih bisa mendapatkan keuntungan. Padahal itu merupakan makanan sehari-hari masyarakat kecil yang kaya akan sumber protein dan gizi. Sehingga masyarakat kecillah yang mengalami dampaknya.

BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan banyaknya industri yang berkembang di masyarakat, banyak di antara mereka ikut aktif di dalam memenuhi kebutuhannya, misalnya bertani dan berdagang. Salah satunya dengan memproduksi tempe.
Kedelai merupakan bahan pokok utama untuk pembuatan tempe, tahu, tauco dan sebagainya. Yang mana ketika bahan baku utamanya itu harus diekspor dari luar pada saat harga dunia melambung, kelangkaan kedelai terjadi di pasaran lokal. Akan tetapi, segala rintangan selalu terjadi membuntuti, tak kenal status sosial ataupun apalah jadinya.
Namun, atas segala keinginan, keuletan, kesabaran dan do’a yang sungguh-sungguh, semua kesulitan tak terasa telah dihadapinya. Begitu juga apa yang termuat di isi makalah ini, semuanya itu bukti kegigihan dan kerja keras yang dilakukannya. Tanpa ada usaha, manusia akan biasa menjalani hidupnya.
Semoga dengan adanya penelitian ini, kita bisa sungguh-sungguh di dalam mewujudkan keinginan dan cita-cita. Sehingga segala kemelut yang terjadi saat ini, apabila dibarengi dengan usaha untuk bisa berubah, segalanya itu akan terlaksana dengan apa yang diharapkan.




DAFTAR PUSTAKA

Astawan dan Mita . 1991. Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna. Jakarta : Akademika Pressindo.
Didi Mashudi. 2009. Hasil Wawancara Mengenai industry Tempe..
Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Mary Astuti. Pustaka Serat Sri Tanjung (sekitar abad XII dan XIII)
Sarwono, B. 1982. Membuat Tempe Dan Oncom. Jakarta : PT. Penebar Swadaya
Soerjono, Soekanto. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali.
http://pptspmajalengka.com/?naon=potensi2
http://blogspot.com/2008/03/kabupaten-majalengka.html

definisi sejarah lisan

Pengertian Sejarah Lisan

• Sejarah Lisan Dan Tradisi Lisan
Sejarah lisan pada dasarnya berbicara tentang sesuatu yang baru tapi lama. Akan tetapi, secara materi, dalam kedudukannya sebagai sumber sejarah, sejarah lisan merupakan barang lama yang sama tuanya dengan sejarah itu sendiri.
Berikut kami uraikan beberapa pengertian sejarah lisan menurut para ahli, diantaranya:
1. Sartono Kartodirdjo (1991) merumuskan sejarah lisan sebagai cerita-cerita tentang pengalaman kolektif yang disamapaikan secara kolektif.
2. Cullom Davis, et,.al. (1977) mengartikan sejarah lisan sebagai a branch of historical research.
3. A. Adaby Darban (1988) mengartikan sejarah lisan sebagai sumber sejarah yang terdapat di kalangan manusia yang mengikuti kejadian atau menjadi saksi atas suatu kejadian masa lampau, diuraikan dengan lisan.
4. A. B. Lapian (1981) mengatakan bahwa di Amerika Serikat sejarah lisan dipahami sebagai rekaman pita (tape recording) daripada wawancara tentang peristiwa atau hal-hal yang dialami oleh pengkisah (interviewee) atau lebih tepat lagi rekaman pada pita kaset tentang pengalaman-pengalaman yang masih diingat oleh pengkisah.
5. A. Gazali Usman (1983) memberikan definisi sejarah lisan sebagai rekaman pita dari wawancara tentang peristiwa yang dialami oleh pengkisah. Dengan demikian, isi pita rekaman berupa wawancara antara pewawancara (interviuwer) dengan pengkisah.
Jadi, dengan banyaknya pengertian sejarah lisan tersebut, maka tampaklah keseragaman dalam melihat muatan utama sejarah lisan, yakni memori atau ingatan manusia. Dengan demikian, tanpa adanya ingatan manusia tidak mungkin ada sejarah lisan. Sebaliknya, tidak mungkin ada sejarah lisan tanpa ada ingatan manusia. Sehingga jelas bahwa sejarah lisan pada dasarnya merupakan rekonstruksi visual atas berbagai peristiwa sejarah yang benar-benar terjadi yang terdapat di dalam memori setiap individu manusia.
• Tradisi Lisan (Oral Traditional)
Tradisi lisan dipahami sebagai kesaksian lisan yang dituturkan secara verbal dari satu generasi ke generasi berikutnya. Artinya bukan hanya kesaksian lisan yang benar-benar terjadi pada peristiwa sejarah, akan tetapi bisa jadi hanyalah tentang tradisi-tradisi yang berkembang di tengah masyarakat. Tradisi lisan demikian dalam batas-batas tertentu dapat diidentikan dengan folklor, khususnya folklor lisan (verbal folklor) dan folklor sebagian lisan (partly verbal folklor).
Menurut James Danandjaja (1997), folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk tulisan maupun alat pembantu pengingat (mnemonic device).
Folklor lisan dipahami sebagai folklor yang bentuknya memang murni lisan. Jan Harold Brunvand membagi tiga bentuk folklor, di antaranya:
1. Lisan
2. Sebagian lisan
3. Bukan lisan atau non verbal folklor.

Folklor lisan merupakan yang paling dekat dengan tradisi lisan. Beberapa bentuk folklor lisan; pertama, bahasa rakyat, seperti logat, julukan, pangkat tradisional dan titel kebangsawanan; Kedua, ungkapan tradisional, seperti, peribahasa, pepatah, dan pemeo; ketiga, pertanyaan tradisional, seperti, teka-teki; keempat, puisi rakyat, seperti, pantun, gurindam, dan syair; kelima, cerita prosa rakyat, seperti, mite, legenda dan dongeng; keenam, nyanyian rakyat. Dan yang serring diidentikan dengan tradisi lisan tidak lain adalah cerita prosa rakyat, baik mite, legenda, maupun dongeng.
Folklor sebagian lisan dapat diartikan sebagi folkor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Misalnya kepercayaan masyarakat yang bersifat takhayul, percaya kepada hal-hal gaib; seperti batu-batuan atau benda-benda yang dianggap berhasiat. Selain itu yang dikelompokkan ke dalam folklor sebagian lisan adalah permaian rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara dan pesta rakyat.
• Sejarah Lisan sebagai Sumber Lisan

Sebagai salah satu bentuk sumber lisan, sejarah lisan haruslah digali secara “sengaja”, terencana, dan tersistematisasikan. Ole3h karena itu, sejarah lisan harus benar-benar digali dengan penuh kesadaran dan penuh perencanaan.
Menurut Taufik Abdullah (1982) pada dasarnya sejarah lisan dapat dibedakan dalam tiga corak, yakni sastra lisan, pengetahuan umum tentang sejarah, dan kenangan pribadi. Sastra lisan meskipun tidak bisa diharapkan terlalu banyak untuk membantu rekonstruksi suatu peristiwa tetapi dengan pengetahuan antropologis yang memadai akan memungkinkan penelitian sejarah untuk mengetahui atau setidaknya menyadari dunia nilai dan dunia makna dari masyarakat yang diteliti. Pengetahuan umum tentang sejarah pada dasarnya merupakan bentuk perspsi sosial tentang hari lampau. Kenangan pribadi adalah corak sejarah lisan yang relatif paling memenuhi syarat sebagai sumber sejarah atau dengan kata lain merupakan sejarah lisan yang otentik, yang akan lebih langsung membantu penelitian sejarah saat melakukan rekonsruksi.
Ingatan adalah proses, bukan keadaan menetap. Sebagai suatu proses, ingatan pada dasarnya dimulai ketika sesuatu yang akan diingat itu dipelajari atau dialami. Maka setelah itu mengalami proses penyimpanan (storage). Dalam kaitannya dengan penggalian sejarah lisan, ingatan yang tersimpan dalam storage itulah yang harus dikeluarkan, dikisahkan atau dikenang secara aktif.
Berpijak pada pengertian bahwa sejarah lisan adalah peristiwa-peristiwa sejarah terpilih yang terdapat di dalam ingatan-ingatan hampir setiap individu manusia maka secara kuantitatif, materi sejarah lisan sebagi sumber lisan dapat dikatakan hampir tak terbatas. Artinya, banyak tidaknya sejarah lisan untuk suatu peristiwa sejarah yang akan direkonstruksi pada dasarnya akan ditentukan oleh “sosok” atau “kebesaran” peristiwanya itu sendiri.

BAB III
Guna Sejarah Lisan

Kuntowijoyo (1995) mengatakan bahwa sejarah di samping memiliki guna intrinsik juga memiliki guna ekstrinsik. Guna intrinsik sejarah memiliki empat hal; sejarah sebagai ilmu, sejarah sebagai mengetahui masa lalu, sejarah sebagai pernyataan pendapat dan sejarah sebagi profesi.
Sementara itu, guna ekstrinsik sejarah juga mencakup empat hal; fungsi pendidikan (moral, penalaran, politik, kebijakan, perubahan, masa depan, keindahan, dan ilmu bantu), latar belakang, rujukan, dan bukti.
T. Ibrahim Alfian (1985) menyatakan bahwa ada tiga guna sejarah. Pertama, untuk melestarikan identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok bagi kelangsungan hidup. Kedua, untuk mengambil pelajaran dan teladan dari peristiwa-peristiwa di masa lalu. Ketiga, sejarah dapat berfungsi sebagi sarana pemahaman mengenai makna hidup dan mati atau mengenai tempat hidup manusia di atas muka bumi ini.
Guna pertama sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat berguna sebagi sumber pelengkap di antara sumber-sumber sejarah lainnya. Artinya sebagi penambah dari keterkurangan sumber tertulis di dalam melakukan rekonstruksi sejarah. Sehingga peran sejarah lisan ini menjadi ciri khas, manakala mampu memberi suatu pelengkap terhadap rekonstruksi sejarah yang menjadi lebih “hidup”.
Sebagaimana Taufik Abdullah (1982) mengatakan, bila dikerjakan dengan baik, sejarah lisan tidak saja akan mampu mengisi kekurangan dari sumber-sumber tertulis dalam usaha merekonstruksi suatu peristiwa tetapi juga akan mampu memberi suasana (sphere) dari periode yang diteliti. Dengan cara itu, humanisasi studi sejarah dapat dilanjutkan.
Sejarah lisan menjadikan sejarah menjadi memasyarakat dan dimiliki banyak orang atau dalam bahasa Paul Thompson (1978), sejarah lisan mampu mengembalikan sejarah kepada masyarakat serta menjadikan sejarah lebih demokratis.
Guna kedua sejarah lisan dalam kaitannya dengan rekonstruksi sejarah, sejarah lisan dapat menjadi sumber sejarah satu-satunya. Artinya jika sumber tertulis tidak memadai, bahkan tidak sama sekali maka peran sejarah lisan dapat dimainkan. Akan tetapi, keberadaan seperti itu di dalam merekonstruksi sejarah harus disikapi secara jauh lebih kritis.
Guna ketiga sejarah lisan adalah memberikan semacam discovery atau ruang kepada sejarawan untuk mengembangkan penelitian di masa depan. Misalnya realitas perkembangan kontemporer telah memperlihatkan semakin berkurangnya tradisi tulis di tengah masyarakat serta budaya tulis di atas media kertas.
Perkembangan kontemporer seperti itu akan memberikan dampak kepada hilangnya jati diri sumber tertulis. Karena semakin jauh dari tradisi tulis dan bahkan bukan tidak mungkin akan memupus budaya kertas (paper culture). Maka jelas perlahan tapi pasti akan menjadi musibah besar bagi sejarah. Padahal, sumber tertulis begitu melekat dengan sejarah dan ketiadaannya sumber tertulis bagi sebagian orang dapat berarti berakhirnya “usia” sejarah.
Namun, permasalahan seperti itu tidak perlu dan tidak mesti dikhwatirkan lagi karena semuaanya bisa teratasi dengan adanya sejarah lisan. Tegasnya, sejarah lisan akan ma
mpu melakukan rekonstruksi berbagai sejarah di masa depan, termasuk bilamana peristiwa sejarah tersebut tidak menyisakan sumber tulisan.
Dalam guna ketiga inilah, sebagaimana dikatakan Kuntowijoyo (1994), setidaknya ada tiga sumbangan besar yang diberikan sejarah lisan terhadap pengembangan sunstansi penulisan sejarah, di antaranya:
1. Kekontemporeran sifat yang dimiliki sejarah lisan membuka kemungkinan yang hampir tak terbatas untuk dapat menggali sejarah dari para aktor sejarah.
2. Sejarah lisan memberikan luang bagi tampilnya para aktor sejarah yang tidak tertulis dalam dokumen.
3. Sejarah lisan membuka kemungkinan bagi perluasan permasalahan sejarah karena sejarah tidak lagi dibatasi oleh dokumen tertulis.